Tiga tahun lalu, tepatnya 21 Juli 2017, saya ternyata sempat mendengarkan radio di radioppidunia.org dengan narasumber Mbak Dewi dalam program Inspirasi Tanpa Batas. Tajuk yang dibawa adalah "Inspirasi Berkeluarga Sambil Kuliah di Rantauan" (intinya itu hehe). Untungnya, saya menyimpan dokumen ringkasan poin-poin penting dari hasil yang saya dengar.
Dewi Nur Aisyah, nama yang sudah tak asing lagi di telinga. Ia adalah seorang ahli epidemiologi dan pakar informatika penyakit menular dari Indonesia. Selepas kuliah S-1 di UI, ia mengambil S-2 di Imperial College London bidang Modern Epidemiology, lalu meneruskan S-3 di University College London jurusan Infectious Disease Epidemiology and Informatics. Prestasinya? Tentu tak diragukan lagi.
Banyak pertanyaan yang dilayangkan oleh pembawa acara kepada Mbak Dewi. Tentunya seputar: Mengapa? Kok bisa? Gimana caranya? Apa gak cape? dan semua hal yang berkaitan dengan kuliah, keluarga, dan manajemen waktu.
Berkeluarga adalah salah satu siklus kehidupan. Mbak Dewi menikah saat usia 22 tahun. Empat bulan setelah menikah, ia melanjutkan studinya di jenjang S-2. Tentu saja, tantangannya jauh lebih berat karena saat itu ia sudah memiliki suami. Ada tanggung jawab dan berbagi peran yang tak bisa dikesampingkan. Namun, apakah hal itu menjadi beban bagi Mbak Dewi?
Mbak Dewi menyebutnya bukan sebagai beban, melainkan tantangan, "Berkeluarga adalah bagian dari kehidupan. Ketika saya sudah menjadi ibu, saya mempunyai kekuatan yang jauh lebih besar daripada ketika saya masih single. Bukan karena kita yang kuat, tetapi Allah yang mampukan kita untuk mengerjakan target dan impian itu. Sesungguhnya, sekalipun engkau sudah menikah dan memiliki anak, percayalah, engkau masih bisa terus berkarya."
Bagaimana pola mengasuh anak dan menjaga anak yang masih kecil, sedangkan kita masih kuliah?
Mbak Dewi menjawab, "Pendidikan anak di usia dini sangat penting, kami tidak mau menitipkan anak pada tempat penitipan anak. Solusinya adalah estafet per hari dengan membuat jadwal bersama suami."
Mbak Dewi dan suami membuat jadwal khusus, menandai hari-hari tertentu dalam kalender, seperti kapan ia ke kampus, kapan santai di rumah. Hal tersebut agar mereka bisa saling gantian memegang dan mengasuh anak. Menurutnya, semua akan menjadi mudah ketika sama-sama bekerja, sama-sama sekolah, sama-sama membangun keluarga yang bermanfaat.
Jika sudah berkeluarga, tentu saja butuh banyak pengorbanan. Menurut Mbak Dewi, pernikahan adalah membangun satu visi yang sama meskipun dengan misi yang bermacam-macam. Visi, komitmen, dan niat yang kuatlah yang akan membantu antaranggota keluarga, terutama suami-istri, untuk rela berkorban dan berjuang. Selain itu, komunikasi antaranggota keluarga harus terjalin dengan lancar, hal ini juga bisa kita libatkan dengan orang-orang di luar keluarga inti, "Dalam keluarga, yang penting untuk diajak diskusi adalah pasangan, mertua, dan orang tua. Restu mereka sudah cukup. Dan yang paling penting adalah pandangan Allah. Nyinyiran orang lain gak perlu didengar."
Bagaimana pandangan Mbak, jika harus menentukan prioritas antara keluarga dan sekolah?
"Jika kita sudah menikah dan memilih kuliah lagi, kuliah adalah sambilan, sedangkan tugas utama adalah di rumah."
Bagaimana pandangan Mbak Dewi terhadap konsep rezeki?
"Sebanyak apa pun orang ingin mengambil dan menambah rezeki saya, tidak akan bisa karena kita telah memiliki ukuran dan jatahnya. Tugas saya adalah menjemput rezeki dengan cara yang baik karena rezeki tersebut akan datang tepat pada waktunya."
Lalu, poin utama yang disebutkan oleh Mbak Dewi, "Ketika kita akan menikah dengan seseorang yang shalih dan shalihah, tentu masing-masing dari mereka akan paham cara memuliakan pasangannya. Namun, jika visi berbeda, akan ada banyak gejolak-gejolak rumah tangga yang mungkin sulit mendapatkan jalan keluarnya. Dulu, saya tinggal di rumah petak dengan suami, hanya ada ruang tamu, kamar, dan kamar mandi. Namun, kami siap mengambil keputusan besar itu."
Setiap keluarga akan selalu diberikan ujian sesuai dengan kadarnya. Tentu hal tersebut tak bisa dibandingkan dengan keluarga yang lain. Poin-poin penting yang telah dipaparkan oleh Mbak Dewi, dapat menjadi contoh untuk diterapkan dalam keluarga kita, pun mungkin praktiknya akan lebih sulit dari yang dibayangkan. Bagaimanapun, pernikahan adalah sekolah sepanjang hidup. Tempat belajar yang begitu kompleks; sebuah institusi terkecil dalam masyarakat, tetapi menjadi tolok ukur sebuah peradaban. Harapannya, selamat hingga akhirat. Semoga Allah senantiasa memampukan dan menuntun keluarga kita.
0 Comments