(image by Hakase_ on Canva Studio) |
Ibu adalah semestanya rindu. Tempat ternyaman untuk singgah di mata sendu. Karena awalku adalah dirimu. Lalu lelah, lalu sabar, lalu ikhlas, hingga cahaya surga terpancar indah di beningnya matamu. Pada akhirnya, kami putrimu, tidak akan habis-habisnya belajar penuh darimu; yang kelak akan menjadi sepertimu. Semoga cahaya surga tidak berhenti di matamu, Ibu.
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua oangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada–Ku dan kepada kedua orangtuamu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS Luqman: 14)
Ayat tersebut menyebutkan tiga jenis kepayahan yang dialami oleh seorang ibu. Pertama, seorang ibu dititipi rahim suci sebagai tempat berkembang calon anak-anaknya. Berbulan-bulan seorang ibu harus menanggung beban tambahan di perutnya dalam setiap keadaan. Tidak sedikit para ibu yang merasakan beberapa keluhan seperti mual, pusing, pegal, dan sebagainya. Bahkan, satu hal yang selalu diingat oleh mereka bahwa dalam tubuhnya, terdapat makhluk hidup yang sedang berkembang dan akan lahir menjadi manusia sempurna yang sama seperti dirinya. Seorang anak yang kelak akan tumbuh dan berkembang sama seperti dirinya saat ini. Kedua, seorang ibu melahirkan anaknya dalam keadaan sakit hingga mempertaruhkan dirinya. Namun, betapa besarnya cinta seorang ibu kepada anaknya, sesakit apa pun yang dialami ketika melahirkan, mendadak sirna saat ia mulai melihat dan memeluk anak mungilnya. Sementara, jenis kepayahan selanjutnya adalah menyusui anaknya hingga lebih kurang dua tahun. Kepayahan dan perjuangan seorang ibu adalah bukti betapa besarnya pengorbanan yang diberikan demi kelangsungan hidup anak-anaknya.
Seperti yang pernah diucapkan oleh Teh Nabila Hayatina dalam salah satu Talkshow “Beauty Mission” yang diselenggarakan oleh kemuslimahan Unpad pada bulan September 2016, bahwa wanita hakikatnya dilahirkan untuk melahirkan. Sebagai wanita Muslim (Muslimah) tentu harus memiliki kesadaran sejak dini bahwa kita adalah para calon ibu yang kelak akan menggantikan posisi ibu kita. Dilahirkan untuk melahirkan; melahirkan anak-anak yang kelak menjadi generasi berkualitas pejuangnya Allah, melahirkan kebaikan yang ditebarkan dan ditularkan untuk keluarga dan masyarakat, melahirkan cita-cita dan cinta untuk dirinya, suaminya, anak-anaknya, keluarganya, masyarakat, dan kebermanfaatan dirinya bagi umat. Ingatkah bahwa wanita adalah tiangnya sebuah negara?
Kesadaran diri sebagai “calon ibu” harus dimiliki oleh seluruh Muslimah. Sayangnya, masih banyak Muslimah yang sudah dewasa, belum sadar bahwa ia adalah pemegang peran penting dalam keberhasilan sebuah keluarga, bahkan keberhasilan sebuah negara. Alasan-alasan klasik seperti masih ingin fokus belajar (dengan ambisi duniawi semata), ingin menikmati masa muda (dengan ambisi duniawi semata), mengembangkan diri tanpa sesuai dengan koridor Islam, dan lain sebagainya, masih banyak terdengar dari mulut para Muslimah. Padahal, dengan sadar bahwa kita adalah “calon ibu”, diri kita akan secara otomatis melejitkan potensi yang dimiliki. Bersiap diri untuk menjadi calon ibu yang cerdas dan aktif. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan akan semakin terarah bahkan mendewasakan diri kita. Bukankah kelak anak-anak kita berhak terlahir dari rahim seorang perempuan yang cerdas?
Mengutip tulisan Oki Setiana Dewi dalam buku berjudul “Cahaya di atas Cahaya”, ia mengatakan, “Seorang perempuan memang harus terus belajar dan haus akan ilmu. Aku sangat menyadari itu. Karena ada tujuan mulia dalam mencapai ilmu yang terkandung hati setiap wanita. Al-ummhiya al-madrasatu al-ula, ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Setiap wanita dititipi rahim suci oleh Allah. Dalam rahim itu, atas izin-Nya, akan tertanam benih suci yang lahir bak kertas putih. Ada suatu syair mengatakan, al-umm madrasatun idza a’adadtaha a’dadta syaban thayyibu al-aqraq –seorang ibu seumpama sebuah sekolah. Jika engkau mempersiapkan ia dengan baik, engkau telah mempersiapkan sebuah generas unggul.”
Buku tersebut pertama kali saya baca di tahun 2013. Bahkan dalam buku Oki Setiana Dewi yang lain berjudul “Melukis Pelangi” diceritakan bahwa ia pernah menulis surat untuk calon anak-anaknya jauh sebelum ia menikah. Bukankah menulis dapat menjadi sebuah kekuatan harapan dan doa?
Mari bersama berusaha mendapat predikat ‘baik’ di mata Allah dengan dua kunci yang selalu dipegang: taat dan mau terus belajar. Selamat mempersiapkan diri wahai para calon ibu (biologis dan ideologis) kecintaan Allah. Allah bersamamu.
(ditulis tahun 2017 lalu)
0 Comments