Berawal saat saya menerima pesan dari Nindy alias by.U, yang memberitahukan bahwa saya dapat gratis nonton di aplikasi Disney+ selama sebulan. Wah! Kayak dapet hadiah meskipun sebenarnya saya bukan penggemar nonton film, termasuk film-film Disney. Tapi tetap saja bahagia karena dapet gratisan!
Kebetulan juga, saya pernah membaca tweet seseorang yang lewat di timeline twitter saya, “The best I’ve seen this year,” dengan menyisipkan poster film “Luca”, yang tentu saja membuat saya penasaran. Akhirnya, karena beberapa film Disney juga kebetulan sudah ditonton, saya memutuskan untuk menonton film “Luca” lebih dulu.
Animasi ini adalah animasi yang terbilang masih hangat karena baru ditayangkan di Disney+ Hotstar tanggal 18 Juni 2021. Kali ini, Disney bekerja sama dengan Pixar Animation (yang animasinya terkenal dengan animasi super duper cuaakep pisan). Luca, sebagai tokoh utama dalam film ini bisa dikatakan sebagai ‘makhluk laut’ yang memiliki karakter begitu kuat sebagai seorang anak. Hal ini pulalah yang menjadi penyebab munculnya konflik dalam film.
Penonton pertama kali dimanjakan dengan pemandangan dan suasana bawah laut (yang langsung teringat dengan film “Finding Dory”). Tidak hanya di bawah laut, pemandangan di darat juga digambarkan begitu indah dan berkarakter. Kabarnya, latar darat dalam film “Luca” menggunakan suasana di Italia, Kota Portorosso yang berada di daerah pesisir Pantai Paguro, tahun 1950-an.
Film ini saya ulas secara sangat sederhana menggunakan teori segitiga freytag dalam rangka mengingat kembali materi zaman kuliah. Hanya saja, versi sangat sangat sederhana karena otak belum panas dan belum terbiasa lagi 😂
Tahapan pertama dari film ini, yakni tahap eksposisi atau pengenalan, berisi pengenalan tokoh, yakni tokoh laut (Luca dan keluarganya) dan tokoh darat (masyarakat Portorosso yang sedang memancing dan sangat takut dengan ‘monster laut’). Pada tahap ini, aktivitas para tokoh digambarkan, termasuk aktivitas Luca yang harus ‘menggembala’ hewan peliharaannya. Saya pikir, tahap pengenalan ini digambarkan dengan cukup jelas dan sederhana sehingga penonton (yang sasarannya anak kecil) pun akan begitu mudah memahami dan menikmati.
Tahap kedua, mulai timbul konflik dalam cerita. Luca, sebagai tokoh yang memiliki rasa pengetahuan yang besar, sifatnya tersebut menjadi penyebab terbesar munculnya konflik. Hal ini juga didukung oleh pihak ketiga, yakni Alberto, yang ternyata sudah berkali-kali pergi ke darat (hal sangat tabu dan dilarang oleh para penghuni laut). Adegan yang cukup membuat saya berdecak kagum (hehe lebay emang) adalah saat mereka berdua mencoba keluar dari lautan dan naik ke daratan. Mulus banget perubahan mereka dari ‘makhluk laut’ menjadi manusia. Saya bahkan sampai terbawa mimpi, takut kena air karena bakal berubah jadi makhluk laut 😆. Konflik pertama tersebut disusul dengan konflik lain yang mulai hadir dalam cerita meskipun konfliknya begitu sederhana dan gak menegangkan banget.
Konflik demi konflik yang terjadi tersebut akan menghasilkan sebuah klimaks (pada tahap klimaks, emosi penonton sampai di tahap puncak). Biasanya, tahap klimaks akan sangat sebentar dan mendekati akhir cerita. Bagi saya, bagian klimaks yang berhasil membuat emosi saya begitu naik adalah ketika Luca mulai kehujanan dan mulai berubah menjadi makhluk laut di saat dia mengikuti tahap akhir perlombaan. Akibatnya, Luca diketahui identitasnya oleh para manusia.
Tahap leraian terjadi begitu cepat dan berhasil membuat emosi penonton turun, yakni saat ayah Giulia (yang terkenal paling ambisius memburu monster laut) mengakui kemenangan Luca. Dari pengakuan tersebut, beberapa konflik yang ada, otomatis terselesaikan dengan cepat.
Seperti film Disney yang lain, film “Luca” ini juga memiliki bagian ‘sedih’ dan berhasil membuat saya yang cengeng ini meneteskan air mata—meski sedihnya masih jauh jika dibandingkan dengan film Disney yang lain. Alberto, yang sejak awal sangat berambisi memiliki vespa, rela menjual vespa yang didapat dari hasil lomba untuk ditukarkan menjadi biaya sekolah Luca. Cukup terkejut juga buat saya. Karena kedekatan mereka pula, ada beberapa yang mengatakan bromance keduanya begitu kuat dan ‘agak-agak’. Namun, saya justru tidak melihat hal itu. Bagi saya, kedekatan Luca dan Alberto menonjolkan persahabatan yang lazim pada umumnya.
Ada hal menarik yang saya pelajari dari film-film Disney, yakni seringnya dimunculkan tokoh perempuan sebagai ‘pahlawan, penyelamat, superwoman’ sebagai pribadi berkarakter kuat dan mandiri. Termasuk juga kehadiran Guilia di film “Luca”.
Apa sih hikmah yang bisa diambil dari film ini? Luca digambarkan sebagai anak remaja yang penuh dengan rasa keingintahuan, tetapi terhalang karena larangan orang tua. Saya kira, ini juga bisa menjadi modal semua orang yang sedang dan akan menjadi orang tua untuk banyak belajar ilmu parenting (misalnya, mendidik anak sesuai usianya). Harapannya, tentu agar anak (atau mungkin kita yang masih muda) bisa mengeksplor banyak hal dengan tanpa melanggar aturan-aturan yang ada, terutama agama (tentu saja ini sudah keluar dari jalan cerita film hehe). Juga, bisa mendobrak banyak rasa takut demi menghasilkan banyak kebaikan. *dahlah semakin ngawur
Film “Luca” terbilang memiliki cerita yang ringan, gambar dan suasana yang indah, tergambar pula hingga merasa sedang jalan-jalan ke Italia masa lampau, serta cocok ditonton sebagai teman rebahan terutama di masa pandemi ini.
Setelah film “Luca”, film apa lagi yang perlu saya tonton?
*catatan: gambar diambil dari Disney, Pixar
0 Comments