sumber gambar: Leonardo Valente dari Pixabay

Kamu punya idola? Kamu juga pernah kecewa sama idola kamu? Atau, jangan jauh-jauh deh. Kamu punya orang terdekat (ataupun bukan) yang bikin kamu kagum dan kesengsem, kamu sempat menganggapnya sebagai role model atas teladan dan contoh baik yang dia lakukan. Namun, tiba-tiba ada sesuatu hal dari tingkah atau pilihannya yang tidak kamu setujui, sampai kamu kecewa dan malah mundur alon-alon hingga berbalik seratus delapan puluh derajat. Percikan-percikan kesal dan geuleuh justru muncul di hatimu. Di kasus lain, kamu juga mungkin pernah dibuat kaget saat melihat berita public figure yang tiba-tiba digosipkan ini dan itu, lalu kamu bergumam, "Ngga nyangka! Kan dia keliatan alim bangeet," atau semacamnya.

Berbekal contoh dan pengalaman tersebut (jadi curhat), saya teringat kembali ucapan seorang teman (sebut saja inisialnya Wanti hehehe), saat kami sempat sama-sama kaget atas trending topic kala itu. Di tengah perbincangan seru (hehehe), dia berkata, "Makanya trust no one aja." Hmm, ada betulnya juga. Lalu saya berpikir berkali-kali dan akhirnya kalimat itu sering muncul secara random dalam beberapa kondisi. 

Bagi saya, trust no one alias jangan percaya pada siapa pun (kepada orang-orang yang hidup saat ini) bisa menjadi sebuah prinsip, meskipun bagi saya terdapat kecuali (keluarga). Konteksnya bukan "jangan percaya" pada suatu ucapan yang ada landasannya (seorang pemateri, guru, seseorang yang diberi amanah, dan semacamnya), melainkan jangan percaya akan kebaikan yang dia tampakkan hingga menganggapnya begitu istimewa dan berlebihan. Namun, menyadarkan diri bahwa semua orang memiliki "sisi kelam", atau "sisi hitam", atau aib, atau kekurangannya masing-masing. Di saat kita mulai mengidolakan atau mengagumi seseorang yang masih hidup saat ini, kita juga menyadari bahwa dia punya sisi gelap yang alhamdulillahnya sedang ditutupi oleh Allah. Tapi, bukan pula berarti harus mencari aibnya si dia. Dengan begitu, kita pun menjadi sadar diri terhadap aib sendiri yang sedang ditutupi Allah.

Saya bukan mengajari untuk bersuuzan, ya. Ini hanya dalam rangka untuk berefleksi diri sekaligus bersyukur karena masih ada orang yang mau dekat dengan saya, padahal kalau dosa direalisasikan dengan bau, tentu saya sudah sangat sangat bau hingga orang pun jijik melihat saya. Dalam pewajaran itu, kita memberi ruang untuk saling menerima, tapi juga bukan saling membenarkan sesuatu yang salah. Kita saling berlomba dalam berbuat baik hingga sesuatu yang buruk (kekurangan dan aib) tak lagi tampak atau bahkan hilang dari diri kita. 

Pada akhirnya, kita juga dilatih untuk berbuat ikhlas (semata karena dan untuk Allah) dalam apa pun hingga kita pun bisa mendoakan orang lain agar dia diberi pertolongan dan hidayah Allah saat melakukan kesalahan. Pada akhirnya pula.. kita melihat kebaikan seseorang lalu kita doakan agar menjadi keberkahan untuknya, pun kita melihat keburukan seseorang, lalu kita doakan agar Allah membantunya.

Saya jadi teringat kepada almarhum seorang ustadz masyhur di salah satu pesantren tahfidz (semoga Allah merahmatinya), beliau mengatakan bahwa jika kita ingin mengidolakan seseorang, idolakanlah seseorang yang sudah meninggal karena kita tahu kebaikan seumur hidupnya dan keadaan saat Allah mengambilnya kembali. Masyaallah.

Related Posts