Film pendek "Garwo"

Saya sedang senang menonton film-film pendek. Selain karena tak perlu menghabiskan waktu lama, filmnya bisa begitu bermakna dan membekas. Kejelian dan kecerdasan tim produksi film memang sangat dipertaruhkan di sini.

Film pendek kali ini saya ketahui dari cuitan salah seorang warga twitter yakni @cinemuach yang menulis utas tentang film pendek bagus berdurasi empat belas menit. Film pendek ini berjudul "Garwo", diperankan oleh dua karakter saja, yakni suami (Narno) dan istri (Ainur). Bagi yang bukan orang Jawa, mungkin tidak familiar dengan istilah garwo. Begitu pun dengan saya. Setelah saya berseluncur di gugel, garwo secara kasar bisa bermakna suami/istri. Namun, garwo versi halus/tinggi (Krama Inggil) bisa bermakna bojo atau istri. Ada pula yang mengatakan bahwa garwo juga bermakna sigare/sigaraning nyawa (belahan jiwa). Sebenarnya dari judul saja, penonton sudah mendapat clue dan bisa menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi di dalam film. 

Adegan yang ditunjukkan dalam film, berupa rutinitas pagi hari yang terbilang sangat sederhana. Hampir keseluruhan adegan berisi dialog antara dua tokoh. Mungkin di awal-awal cerita, ada penonton yang menebak bahwa Pak Narno memiliki gangguan pendengaran. Mungkin pula ada yang menebak bahwa Pak Narno sedang marah pada istrinya. Hingga di adegan selanjutnya, penonton menyadari bahwa dialog sebenarnya hanya berlaku satu arah saja, yakni Bu Ainur.

Hal yang menarik pula dari dialog Bu Ainur ini adalah dialog berisi celotehan dan cerewet khas seorang istri. Adegan ini dapat dikatakan begitu relevan dengan kebiasaan pasutri pada umumnya; sang suami yang kadang ceroboh dan sang istri yang cerewet karena kecerobohan suaminya. Bagi saya, keputusan pembuat film dalam memilih dialog dan rutinitas ini berhasil menarik emosi penonton karena penonton pun merasa relate dalam kehidupannya. 

Baca juga artikel menarik lainnya: Film Pendek Sederhana Menguras Air Mata yang Menyoroti Sosok Ayah - Film "We"


Dari awal hingga pertengahan akhir cerita, penonton dibuat menebak-nebak. Misalnya, saat Pak Narno membuatkan teh untuk istrinya, tetapi dalam waktu yang sama, Pak Narno tidak mengacuhkan ucapan istrinya. Di adegan selanjutnya, terdapat dialog Pak Narno yang berkata, "Seandainya ibu ada di sini." Meski dari adegan-adegan ini sudah banyak clue yang diberikan dan saya pun sudah mendapatkan sedikit spoiler, saya tetap menunggu bagian klimaks dari cerita ini. 

Ternyata, bagian klimaks disimpan di akhir cerita. Meski saya sudah mendapatkan spoiler-nya, saya tetap terbawa emosi dan berhasil menitikkan air mata. Bagi saya, pembuat film menentukan bagian klimaks dengan mengangkat emosi Pak Narno yang 'tersadar sudah mau sekian puluh hari', bukan mengangkat emosi Pak Narno yang baru menyadari istrinya pergi. Bisa jadi pula, adegan-adegan tersebut ternyata berupa 'ulangan' dari kejadian empat puluh hari yang lalu. Namun, kali ini, tanpa kehadiran Bu Ainur. 

Film ini sebenarnya cukup banyak menghasilkan penafsiran yang beragam. Terlepas dari penafsiran para penonton, bagi saya, film "Garwo" berhasil menyampaikan pesan dan emosinya. Penonton dibawa sabar dengan menikmati rutinitas biasa, menikmati celotehan Bu Ainur dan kecerobohan (juga kebingungan) Pak Narno hingga menunggu jawaban dari 'tebak-tebakannya'. Film ini juga menonjolkan sisi rutinitas yang tampak biasa-biasa saja menjadi begitu istimewa. Pantas saja film ini pernah menjadi pemenang Silver Award di Viddsee Juree tahun 2019 dan meraih nominasi di Piala Maya. 

Yuk, tonton filmnya dan rasakan emosinya! Film ini bisa ditonton di aplikasi viddsee. Namun, bagi yang tak memiliki aplikasi tersebut, bisa ditonton melalui browser, ya. Di sini: https://vidds.ee/3zW9aTQ

Buat yang ingin menonton lewat YouTube, bisa ditonton juga di channel-nya Viddsee. Klik video di bawah ini, ya. Selamat menonton!



Related Posts