Selera basa-basi orang Indonesia
(Photo by Yusron El Jihan on Unsplash)

Orang Indonesia punya selera basa-basi yang tinggi? Tentu saja. Meski memang ada pula sebagian kecil orang yang kesulitan atau memilih untuk tidak berbasa-basi, nyatanya masyarakat tak pernah lepas dari sikap yang satu ini. Jika kita merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, basa-basi adalah adat sopan-santun, tata krama pergaulan; ungkapan yang digunakan hanya untuk sopan-santun dan tidak untuk menyampaikan informasi yang diucapkan apabila bertemu dengan kawan. Pengertian ini tentu sangat relevan dengan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia.

Berbasa-basi dengan bertanya kabar kepada orang yang baru kembali bertemu setelah sekian lama adalah sebuah kewajiban untuk menjadi pembuka pintu obrolan selanjutnya. Berbasa-basi dengan orang yang ditemukan setiap hari (misalnya dengan tetangga) pun sudah lumrah dilakukan. Beragam pertanyaan seperti mau ke mana?; habis dari mana? sudah sering dilontarkan jika saling berpapasan. Basa-basi pun dipakai saat kita melewati rumah tetangga dan menemukan tetangga yang sedang beraktivitas di halaman rumahnya, seperti menggunakan sapaan lagi mejeng aja, Pak?; lagi nyuci motor?; nyiram tanaman, Bu? ataupun hanya berucap punten atau permisi. Keramahan yang terkenal hingga mancanegara ini tentu menjadi warisan sekaligus kekayaan bangsa Indonesia yang diterapkan secara turun-temurun dan tak boleh hilang karena sifatnya sudah masuk menjadi bagian dari budaya. Sungguh, alangkah indahnya jika kebiasaan baik ini terjaga.

Selain basa-basi yang (kebanyakan) dilandaskan atas prinsip kesopanan, ada pula basa-basi yang dilandaskan atas dasar meyakinkan diri. Pernahkah kamu bertanya kepada sopir angkot tentang jurusan angkot yang akan kamu tumpangi, padahal jelas-jelas tulisan tersebut sudah tertera di kaca depan mobil? "Mang, jurusan Elang-Nangor? " Atas dasar apa biasanya orang-orang melakukan hal tersebut jika bukan untuk meyakinkan diri (atau justru meyakinkan sopir angkotnya)? 

Pertanyaan dan ungkapan dari basa-basi (yang merupakan hal baik) tersebut semuanya berubah setelah negara api eh sebuah pertanyaan khusus menyerang. Jika basa-basi adalah sebuah perilaku sopan santun, mengapa ada basa-basi yang (sepertinya) menjadi buruk dan tidak mengenakkan hati? 


Mengapa Ada Basa-Basi yang (Rasanya) Menjadi Buruk?

Mengapa ada basa-basi yang menjadi buruk? Apakah hanya karena pandangan subjektif dari penerima basa-basi saja? Apakah sebenarnya semua basa-basi adalah baik, tetapi hasil tafsirannya berbeda bergantung perspektif?

Beberapa waktu lalu, setelah satu tahun pernikahan, saya kembali berkunjung ke kampung (sebelumnya pun sudah dua kali berkunjung setelah menikah). Saat itu terjadi, hampir semua orang yang bertemu saya bertanya dengan melayangkan satu kalimat yang sama, "Udah hamil, belum?" Pertanyaan basa-basi dari orang-orang yang bertemu saya yang ditakdirkan sedang merantau dan sudah menikah. Pertanyaan yang sepertinya tak ada lagi pilihan untuk dilayangkan bagi orang yang berada di posisi seperti saya. Pertanyaan yang saya tafsirkan sebagai bentuk kepedulian mereka karena mereka pun ingin merasakan kebahagiaan yang sama.

Sayangnya, mengapa setelah pertanyaaan tersebut dilontarkan, masih ada anak pertanyaan dan pernyataan lain yang mengikutinya dengan beragam kalimat seperti, "Loh, kenapa belum hamil?" Loh, pertanyaan yang perlukah saya jawab? 

Ada pula yang memberi komentar, "Meni bageur (baik), ya." Kalimat basa-basi yang (dirasa) lumrah diucapkan oleh kebanyakan orang, tapi sayangnya terlalu basi karena entah bermakna memuji ataukah menyindir. Hehehe.

"Jangan di-KB, dong," padahal ucapannya tak sesuai dengan fakta. Ada pula yang bertanya, "Padahal ngga di-KB, kan? Kenapa, ya?" Seolah menganggap satu tahun pernikahan belum memiliki anak adalah sebuah kesalahan. 

"Ayo cepet punya anak," apakah bisa saya lontarkan juga dengan kalimat yang serupa padanya, "Ayo anaknya segera nikah"?

Ada pula yang mendadak perhatian dengan menghitung usia pernikahan kami dan sekaligus mengasihani kami. Bahkan, ada pula yang membandingkannya dengan yang lain, "Kok belum? Padahal si itu udah, bisa cepet." Apakah kehamilan seseorang menjadi sebuah perlombaan? 

Beberapa pertanyaan-pertanyaan khusus pun dilayangkan oleh orang-orang, misalnya kepada wanita di atas 25 tahun yang belum menikah. Pertanyaan "udah nikah atau belum" diberi embel-embel yang lain seperti, "Udah punya calonnya? Kenapa belum? Lesbian ya? Jangan kebanyakan milih-milih, nanti keburu lumutan."

Pertanyaan-pertanyaan khusus yang (bagi mereka) dianggap wajar ini, mengapa harus disertai dengan menghakimi? Lontaran tersebut entah sebuah perhatian atau mungkin rasa kasihan. Namun, dua hal tersebut nampak tak ada batas karena menganggap jawaban ‘belum’ atau ‘tidak’ adalah sebuah kesalahan dari seseorang yang ditanya. Padahal, sudah tahukah apa yang sedang dihadapinya? Apakah juga sang penanya bersedia ikut bantu memperbaiki dan membayar pengobatan kalaupun ternyata yang ditanya sedang struggle melawan masalahnya? Selain itu, dengan kasus yang berbeda, apakah si penanya mau ikut mencarikan jodoh sekaligus membiayai kebutuhan pernikahan yang ditanya? 

Inilah basa-basi khusus yang dianggap sepele, tapi bisa menjadi buruk bagi pendengarnya. Bagaimana jadinya jika sang pendengar, setelah sekian banyak tenaga, waktu, dan biaya yang terkuras habis saat berusaha, akhirnya menyerah dan menganggap sia-sia karena pertanyaan dan pernyataan orang-orang tersebut?

Apakah tidak ada basa-basi lain meski dengan sekadar mendoakannya? Ataukah perlu membuat list basa-basi baru agar menjadi kebiasaan baru? Sekaligus mengikuti era new normal hehehe.


Berhenti di Kamu

Pertanyaan dan pernyataan dari basa-basi tersebut mungkin membuat kamu dan saya menjadi tidak enak hati. Mungkin orang-orang menganggap bahwa kamu dan saya baperan. Namun, karena kita sudah mengetahui rasanya seperti apa, ada baiknya basa-basi tersebut cukup berhenti di kamu, berhenti di saya. Mari berusaha maksimal untuk lebih berempati dengan melayangkan basa-basi yang mengenakkan hati. Jika memang pertanyaan tersebut tak sadar terlempar dari mulut, tentu alangkah lebih baik jika kita menahan diri untuk tidak meneruskan topik, atau cukup mendoakannya. Di beberapa kesempatan, basa-basi memang perlu, tapi tak juga berarti harus kepo dengan kehidupan orang lain. 

Memiliki selera basa-basi yang tinggi mesti disertai dengan lontaran ungkapan yang diseleksi. Meski pada akhirnya, di beberapa waktu, hal tersebut membuat saya kikuk dan bingung.. Namun, bukankah berkatalah yang baik atau cukup diam?

 

Related Posts